Aahh, Mas. Yes… terus Mas, aahhh.” Aku yang hendak mengetuk pintu ruang kerja

Aahh, Mas. Yes… terus Mas, aahhh.”
Aku yang hendak mengetuk pintu ruang kerja Mas Raka, sontak menghentikan langkah. Tanganku mengambang di udara. Meski samar, tapi aku yakin jika suara desahan itu berasal dari sana. Desahan orang yang sedang bercinta. Aku coba menempelkan telinga pada daun pintu dan menajamkan pendengaran. Rasanya aku mengenal suara itu, tapi siapa?
Mataku memejam kuat saat suara itu kembali terdengar bahkan semakin keras. Suara desahan seorang wanita juga bunyi sesuatu yang … ah, aku bahkan tak sanggup membayangkannya. Meski belum pernah melakukannya, tetapi aku vakin ana vang sedang teriadi di yakin apa yang sedang terjadi di dalam sana.
Aku menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.
Dengan susah payah aku mengumpulkan segenap kekuatan yang sudah runtuh saat mendengar suara menjijikan itu. Tidak mungkin ada orang lain di sana selain lelaki yang lusa akan menjadi suamiku itu.
Rasa gundah yang membawaku ke mari. Entah kenapa seolah ada yang memintaku untuk datang ke sini. Entah itu rasa rindu, atau ini adalah sebuah firasat yang diberikan Tuhan.
Aku tak lagi menunggu waktu untuk mereka menyelesaikan perbuatan terkutuk itu. Aku tidak ingin mereka mengelak dengan perbuatan menjijikan yang mereka lakukan. Brak!
Pintu terbuka dengan keras dan kedua orang yang sedang bergumul di sofa pun kelabakan. Wajah keduanya pucat pasi.
Mas Raka meraih bantal kursi untuk menutupi bagian intimnya yang tentu saja tidak mengenakan apa-apa.
Dan perempuan yang buru-buru mengambil gaunnya itu, tentu saja aku mengenalnya. Dia adalah adik tiriku. Gadis yang selalu tampak sempurna di mata ayahku.
“Wah, wah, sedang ada pertunjukan rupanya,” sindirku dengan suara tercekat. Sekuat tenaga aku menahan rasa sebah di dada. Aku berusaha agar mataku tak menitikan airnya di depan mereka. “Shaf, aku bisa jelaskan. Ini tidak seperti yang kamu pikir.” Mas Raka tampak salah tingkah. Dia sesekali melirik pada Erina, si gadis sempurna.
“Jelaskan? Apa lagi yang bisa kamu jelaskan dengan perbuatan menjijikan kalian ini?!” Aku berteriak pada Mas Raka. Namun, tatapan kuedarkan pada keduanya.
Erina menyungging senyum miring.
“Kami … kami khilaf, Shaf. ” Mas Raka kembali beralasan. Namun, aku tak mau pedulikan.
Khilaf katanya? Aku tersenyum sinis.
“Bagaimana rasanya tidur dengan calon suamiku? Apa kamu puas?” Aku mendekati wajah yang selama ini selalu terlihat polos di depan papa. Dia kembali tersenyum miring. “Tentu saja. Dia sangat perkasa,” jawabnya membuatku ingin mengeluarkan isi perut saat ini juga.
Tanganku melayang dan hampir mendarat di pipi mulus Erina jika saja tangan Mas Raka tak menghentikannya.
“Shafa, hentikan!” teriaknya dengan cekalan tangan yang terasa kuat. Aku menatapnya dengan tatapan mencibir. Tadi dia bilang khilaf, dan sekarang lelaki ini membela selingkuhannya.
“Ternyata Tuhan masih sayang padaku, Mas. Aku diberi firasat untuk datang ke sini dan melihat perbuatan menjijikan kalian. Jika tidak, mungkin kalian akan meneruskan perselingkuhan ini hingga kita menikah nanti,” ucapku tegas. “Hari ini dan saat ini juga aku
nyatakan jika pernikahan kita batal.” Mataku menatap tajam padanya.
“Hei, Shaf, jangan main-main kamu. Bagaimana bisa pernikahan kita dibatalkan, sementara semua undangan sudah tersebar. Persiapannya sudah rampung seratus persen. Apa kamu mau mempermalukan keluargaku?” cecar Mas Raka dengan sangat tak tahu diri.
“Mempermalukan keluargamu?” Aku meniliknya dengan senyuman mencibir. “Siapa yang sudah mempermalukan keluargamu? Apakah aku yang telah melakukan perbuatan terkutuk ini, hah?”
Cengkeraman Mas Raka semakin kuat hingga menimbulkan nyeri di pergelanganku. “Kita selesaikan masalah ini baik-baik, ok? Kita tetap menikah untuk menyelamatkan nama baik keluarga. Setelah itu terserah kamu mau apa,” katanya begitu percaya diri jika aku akan mengabulkannya.
“Kalian selesaikan saja urusan kalian. Aku mau pulang,” ucap perempuan yang tadi begitu bergairah dan mengerang di bawah lelaki laknat ini. Ternyata dia memanfaatkan waktu untuk memakai kembali bajunya.
Ingin aku mengejarnya, tetapi tangan Mas Raka masih kuat menahanku.
“Urusan kita belum selesai,” desisnya yang tahu jika aku ingin segera pergi.
“Bagaimana kalau kita bicarakan ini kaget.
100
Jakunnya naik turun tanda menelan salivanya.
“Apa kamu takut?” aku menantang lagi.
“Shaf, aku mohon. Apa kamu rela kalau aku dipermalukan seperti ini?” pintanya tanpa malu. Wajahnya tampak memelas.
“Siapa yang mempermalukan siapa di sini? Siapa yang selingkuh, hah? Kamu mempermalukan dirimu sendiri,” ucapku dengan tatapan nyalang.
“Shafa!” ucapnya memelas. Ingin rasanya meludah di wajahnya yang tampan itu. Namun, kini begitu terlihat menjijikan.
“Lepaskan!” desisku sambil menarik tangan dari cengkeramannya.
Setelah terlepas, aku gegas pergi dari tempat yang aku bersumpah tidak ingin lagi menginjakan kaki lagi di sana.
**
Saat tiba di rumah aku mencari keberadaan Erina. Namun, telingaku menangkap jika ada yang tengah mengobrol di ruang keluarga. Bahkan aku mendengar ada yang menangis segala. Dan aku mengenali suara itu. Suara anak gadis kesayangan papa dan ibu tiriku yang pandai sekali bersandiwara.
“Iya, Pa, Ma. Aku tidak bermaksud merebut Mas Raka dari Kak Shafa, tapi Mas Raka yang pertama kali merayu Erina dan dia bahkan … memperkosa Erina.” Oh, rupanya gadis itu sudah lebih dulu bilang sama Papa dan ibunya. Dasar drama queen.
“Astagfirullah. Mama sama sekali nggak nyangka kalau Raka bisa berbuat seperti itu, Pa. Terus bagaimana sekarang? Raka, kan, akan menikah sama Shafa dua hari lagi,” ucap wanita yang telah berhasil merebut Papa dari mamaku.
“Apa yang kamu bilang itu benar, Erina?” tanya Papa yang terperanjat kaget. Adik tiriku itu gegas mengangguk.
“Aku bahkan sedang hamil anaknya Mas Raka, Pa,” jawabnya yang semakin meremas hatiku. Jika Erina sudah berbadan dua, itu artinya mereka sudah sering melakukan sebelumnya. Aku menelan saliva yang terasa sangat pahit. Persis seperti < Bab 1 Perselingkuhan nasibku ini. 100 Aku mendekati mereka tanpa bersuara, hingga Papa tak menyadari kehadiranku. "Kamu hamil? Beneran kamu hamil?" tanya Tante Runi ibunya Erina. "Iya, Ma. Aku sudah melakukan tes beberapa hari yang lalu." Lalu terdengar embusan napas berat dari mulut Papa. "Papa juga bingung, bagaimana nasib pernikahan kakakmu itu nantinya. Tapi jika Raka tidak bertanggung jawab sama kamu, itu akan jauh lebih memalukan." Lelaki yang bergelar ayah itu memijit pelipisnya. "Kalian tidak perlu khawatir. Aku tidak akan melanjutkan pernikahan itu dengan Raka. Jadi, kalian bisa memintanya untuk bertanggung jawab pada Erina," ucapku tegas dan membuat mereka semua menoleh padaku. "Shafa?" ucap Papa terlihat kaget. "Papa sebaiknya telpon keluarga Raka dan bilang jika pernikahan itu akan berlangsung, tetapi dengan pengantin yang berbeda. Erina yang akan menggantikan posisiku." Aku tatap perempuan yang baru menginjak semester empat di jurusan Sekretaris itu. Erina tersenyum sinis padaku, seolah ingin menunjukan kemenangannya. "Tapi, Shaf, bagaimana nasib kamu?" Papa terlihat khawatir. Entah benar atau hanya sandiwara untuk menghiburku. "Papa tidak usah takut. Setidaknya aku tidak akan semalu Erina jika gagal menikah, karena aku tidak sedang berbadan dua." Aku menjawab dengan tegas. "Tapi Papa tidak mau jika Erina sampai melangkahi kamu. Harusnya kamu duluan yang menikah. Atau paling tidak kalian menikah bersamaan." Papa tetap bersikukuh. "Kasian, dong, Erina, Pa. kalau harus nunggu Shafa dapat calon lagi, bisa-bisa perut Erina keburu besar. Lagian, kita sudah menyiapkan pesta, pesan gedung dan catering. Masa kita cancel begitu saja?" ucap Tante Runi, yang bisa kutebak jika dia sedang merayu Papa agar tidak menggagalkan pernikahan itu. Tunggu, apakah ini justru rencana mereka untuk merebut Mas Raka dariku? Papa tampak kebingungan. Dia menatapku dengan nanar. "Tidak usah khawatir denganku, Pa. Nikahkan saja Erina dengan Raka. Itu justru akan lebih baik," ucapku dengan suara tercekat. "Tapi, Shaf...." "Assalamualaikum.” Obrolan kami terhenti karena ucapan salam dari pintu depan yang tadi tak sempat kututup. "Waalaikumsallam. Masuk, Arya!" jawab Papa dan aku hanya menjawabnya dalam hati. "Itu, Pak, ada yang datang mau ngedekor katanya," ucap Arya dengan sopan."Oh, iya. Suruh langsung saja," ujar Papa, lalu lelaki bertubuh tegap dan berseragam coklat itu pun pamit mundur. Sesaat kemudian, Tante Runi menyenggol lengan Papa sambil menunjuk-nunjuk Arya dengan dagunya. "Apaan?" tanya Papa dengan alis bertaut. "Bagaimana jika untuk sementara waktu, Shafa kita nikahkan saja dengan Arya, lalu Erina dengan Raka. Beres perkara." Ibu tiriku itu bicara dengan entengnya. "Apa?! Shafa harus menikah sama satpam itu?" pekik Papa tak terima. Begitu juga denganku. "Ini untuk sementara saja, Pa. Biar Erina dan Shafa bisa menikah di A 4. Erina dan Shafa bisa menikah di waktu yang sama. Lagian, Arya itu wajahnya nggak jelek-jelek amat, kan? Bahkan bisa dibilang ganteng. Kalau Shafa tidak cocok, nanti mereka bisa cerai lagi. Bagaimana?" ucap Tante Runi lagi seolah perasaanku ini tak berharga sama sekali.

Place this order or similar order and get an amazing discount. USE Discount code “GET20” for 20% discount